Cakrabangsa.com: - Helen, salah seorang pemilik saham di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Fianka Pekanbaru, merasa dirugikan pasca penetapan dirinya sebagai tersangka tindak pidana perbankan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau.
Kuasa hukum Helen menduga kasus tersebut dipaksakan oleh penyidik Polda Riau menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam kasus ini, Helen yang memiliki saham 1,23 persen di BPR Fianka ini dilaporkan oleh pasangan suami istri (Pasutri) Halim Hilmi (53) dan Bie Hoi (49). Keduanya mengaku kehilangan uang deposito sebesar Rp3,2 miliar.
Gita Melanika SH MH selaku kuasa hukum Helen mengaku kecewa dengan beredarnya foto Helen sebagai tersangka diekspos ke sejumlah media massa dan media sosial.
Seolah-olah Helen telah terhukum bersalah.
“Seharusnya penyidik mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence-red). Jangan mengekspos foto tersangka tanpa adanya sensor atau blur sedikitpun,” tegas Gita dalam konferensj pers yang digelar di salah satu hotel di Pekanbaru pada Sabtu (22/11/24).
Pihak kuasa hukum menduga penyidik sengaja menyebarkan foto penetapan tersangka itu ke media. Padahal seharusnya penyidik merahasiakannya.
"Diduga ada 'titipan', karena dalam BAP klien kami disebutkan Anita iparnya Bie hoi, akan melaporkan ke EKK atau Edi Kwang Kwang dan akan disampaikan ke Kapolda Riau," paparnya.
Gita juga menyampaikan adanya indikasi penggiringan dan intimidasi dari penyidik Polda Riau kepada Helen saat membuat BAP.
"Namun didalam BAP diganti dan disebutkan akan dilaporkan ke petinggi Polda Riau. Diketahui EKK adalah pengusaha yang pernah duduk di singgasana Kapolda Riau," sambungnya.
Kemudian Gita menambahkan, dikebutnya penetapan Helen sebagai tersangka kejahatan perbankan ini diduga request (permintaan) Ani kepada seorang pengusaha keturunan Tionghoa EKK.
Pengusaha yang sempat viral berfoto di kursi Kapolda Riau ini, diduga ada kepentingan dalam kasus Helen ini.
Selain itu, Gita juga merasa penyidik terlalu terburu-buru menaikkan kasus pidana terhadap Helen ini, sementara masih ada sidang gugatan Perdata yang dilayangkan PT BPR Fianka terhadap Bie Hoi dan Halim Hilmy di pengadilan.
"Anita (ipar Bie hoi) ini adalah pelapor di Polda Riau, sedangkan korban adalah Bihoi dan Halim," terang kuasa hukum Helen tersebut.
"Sebenarnya klien kami sudah mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya serta membayar uang sebesar 6 juta perhari selama 1 tahun. Kesepakatan antara klien kami Helena, Bihoi dan Halim sudah ada perdamaian dan tertuang di notaris," lanjutnya.
Apalagi, gugatan ini dimenangkan oleh PT BPR Fianka dan saat ini proses banding di Pengadilan Tinggi (PT) Riau.
“Seharusnya penyidik menunggu hasil putusan Perkara Perdatanya dulu hingga memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), sebelum menindaklanjuti pemeriksaan laporan pidananya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,”tegasnya.
Terakhir, Gita juga menjelaskan bahwa Helen bukanlah Bos di BPR Fianka, karena dia hanya memiliki saham minoritas yakno 1,23 persen.
Sementara pemegang saham terbesar adalah Nurfatma selaku pemilik bank.
Melihat kondisi yang terjadi hingga saat ini papar Gita, pihaknya meyakini penetapan tersangka jika kasus yang dialami Helen ini benar-benar telah dipaksakan. Kondisi ini, sangat membuat terpukulnya Helen dan keluarga besarnya.
“Terlebih dengan beredarnya foto-foto Helen sebagai tersangka itu, sangat memukul pribadinya sebagai seorang wanita. Seharusnya, semua pihak dapat mengedepankan azas praduga tidak bersalah lebih dahulu,”tuturnya lagi.
Untuk diketahui, sebelumnya Tim Subdit II Perbankan Ditreskrimsus Polda Riau menangkap Helen, Jumat (15/11/2024) di kediamannya di Jalan Kayu Agung, Kota Pekanbaru.
Helen diduga melakukan manipulasi terkait pencairan dana deposito yang mencapai miliaran rupiah.
Helen diduga menginstruksikan jajaran direksi dan komisaris bank mencairkan 22 lembar bilyet giro (BG) deposito atas nama Bie Hoi dan Halim Hilmy pada Mei 2023 silam. Total daa yang dicairkan Rp 3.240.000.000.
Akibat perbuatannya itu, penyidik menjeratnya dengan Pasal 50A UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 362 KUHPidana, serta Pasal 3 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) (sumber: Riautribune.com)