Cakrabangsa.com:-Warga di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) Desa Gogok, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, merasa resah dengan kehadiran kerumunan lalat di rumah mereka. TPS sampah seluas 2 hektar yang berada di Desa Gogok Darussalam itu tak lagi mampu menampung sampah.
Gundukan sampah yang sudah menggunung sekitar 15 m di area TPS yang berada berdekatan dengan mesin PLN Gogok itu semakin meresahkan.
Selain itu, yang parahnya lagi sampah tersebut juga sudah hampir menjalar ke area jalan raya yang menghubungkan antarkecamatan Tebingtinggi Barat ke Kecamatan Tebingtinggi (Kota Selatpanjang.
Prapti, salah seorang warga Desa Gogok, mengungkapkan keluhannya terkait kondisi yang makin memburuk. Tidak hanya bertahan dengan bau busuk yang menyengat namun kini harus berhadapan dengan lalat pula.
"Dampak sampah dari TPA yang sudah menggunung dan mengeluarkan bau menyengat membuat rumah kami diserang lalat. Kenapa pula asal sampah dari kota, kami yang orang kampung harus kena dampaknya?," ujarnya dengan penuh kekesalan beberapa waktu lalu.
Dia juga berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti keluhan mereka dan mencari solusi yang efektif. Bau busuk dan lalat-lalat yang semakin mengganggu bukan hanya mengurangi kenyamanan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan risiko kesehatan.
"Harapan kami, masalah ini segera diperhatikan dan diselesaikan. Jangan sampai terus dibiarkan seperti ini. Kami hanya ingin hidup nyaman dan sehat tanpa gangguan bau busuk dan lalat yang bertebaran," ucap Prapti penuh harap.
Suprapto, seorang warga lainnya juga merasa kecewa dengan situasi ini, disebutkan penempatan Desa Gogok sebagai tempat pengolahan sampah malah menjadi tempat pembuangan sampah.
"Dulu katanya tempat itu akan dijadikan tempat pengolahan sampah, tapi sekarang malah jadi tempat limbah. Kami warga desa hanya bisa menerima saja, padahal sangat kasihan melihat desa ini jadi tempat pembuangan sampah," tuturnya.
Warga setempat menduga bahwa lalat-lalat yang menyerang rumah mereka berasal dari TPA yang berada tidak jauh dari pemukiman. Kondisi ini sudah dirasakan warga selama dua tahun terakhir. Namun, baru sekarang keluhan mereka semakin kuat karena dampaknya semakin dirasakan.
Kepedulian dan tanggapan cepat dari pemerintah serta dinas terkait sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini, agar warga Desa Gogok bisa kembali menikmati kehidupan yang nyaman tanpa harus dihantui oleh tumpukan sampah dan ribuan lalat di sekitar mereka.
Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) Kabupaten Kepulauan Meranti, Saiful Bakhri ST melalui Kabid Lingkungan Hidup Dewi Atmidilla, ST, MM mengatakan hal itu dikarena memang TPS yang ada sudah tidak memadai.
"Memang TPS itu tidak mampu lagi menampung sampah yang dihasilkan masyarakat Selatpanjang, yang selama ini masih memakai pola open damping, tanpa ada pengolahan awal," ungkapnya.
Dewi juga menjelaskan, setiap tahunnya jumlah kapasitas volume sampah masyarakat yang ada di Selatpanjang semakin bertambah, hal itu juga didasari dengan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Terhitung, saat ini setiap harinya saja pihaknya harus mengangkut sampah tidak kurang 42 ton setiap harinya.
"Ditambah mindset masyarakat kita yang menganggap sampah tidak bernilai serta tidak diterapkannya pemilahan sampah dimulai dari rumah," jelasnya.
Ditambahkan Dewi, memang melubernya sampah ke Jalan karena alat excavator yang ada di lokasi TPS tersebut mengalami rusak berat, yang menyebabkan tidak adanya aktifitas di TPS.
"Biasanya Excavator yang nyusun menaikan sampah menjadi tumpukan tinggi dan meratakan di tanah. 15 M itu tumpukan di dalam, kalau yang meluber karena sampahnya nggak bisa disusun menjadi tumpukan karena nggak ada excavator," jelas Dewi.
"Upaya sudah dilakukan dinas terkait dengan pinjam pakai escavator dari dinas ketahanan pangan, tapi kondisi escavator itu juga dalam kondisi rusak dan sedang diupayakan perbaikannya," tambahnya.
Dia juga memaparkan, seharusnya Kabupaten Kepulauan Meranti sudah melakukan pembuatan Penyelenggaraan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
"Di mana RDF itu adalah hasil bahan bakar alternatif yang berasal dari sampah. setidaknya mesin RDF mini yang harganya lebih murah," paparnya singkat.
Terkait mesin RDF ini, diakuinya sudah pernah dibahas tahun lalu untuk masuk di tahun 2024 ini, akan tetapi Kabupaten Kepulauan Meranti masih belum bisa memasukannya dalam perencanaan karena dianggap harganya terlalu mahal.
"Saat itu kami mengajukan mesin besar. Setelah mendapat informasi ada mesin RDF skala kecil, maka kami ajukan lagi untuk masuk pengadaan di tahun depan. Semoga dapat terealisasi nantinya," pungkasnya.(mcr/llk)